1dtk.com - Pekerja sektor informal kini menjadi sorotan besar dalam upaya pemerintah memperluas cakupan jaminan sosial melalui BPJS Ketenagakerjaan. Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Yassierli, menyebut bahwa perhatian khusus dari Presiden Prabowo Subianto menekankan pentingnya inklusi pekerja di sektor ini. Tantangan besar ini bukan hanya soal angka, tetapi bagaimana menjamin perlindungan sosial yang benar-benar dirasakan oleh pekerja.
“Industri informal memang PR yang tidak mudah. Dan sesuai dengan harapan Pak Presiden dalam aspek ini kita menjadi poin penekanan beliau juga bagaimana ini kita nanti duduk bersama,” kata Yassierli, seperti dilaporkan pada Selasa (26/11/2024).
Sektor informal seringkali menjadi penyelamat ekonomi nasional, terutama saat badai resesi mengancam. Namun ironisnya, kontribusi besar ini tidak sebanding dengan perlindungan yang mereka dapatkan. Bukan rahasia lagi, pekerja seperti pedagang kaki lima, pengemudi ojek daring, hingga buruh lepas seringkali terpinggirkan dari akses jaminan sosial.
Padahal, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sektor informal menyumbang sekitar 60% dari total angkatan kerja di Indonesia. Ini adalah angka yang fantastis, tetapi sekaligus mengkhawatirkan. Tanpa perlindungan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan, mereka rentan terhadap risiko seperti kecelakaan kerja, sakit, atau bahkan PHK mendadak.
“Isinya sekali lagi saya berharap tidak hanya sebatas bagaimana meningkatkan kepersertaan dari informal. Tapi benar-benar jaminan sosial ini menjadikan sesuatu buat mereka,” tegas Yassierli.
Menjangkau sektor informal jelas bukan tugas mudah. Berbeda dengan pekerja sektor formal yang memiliki struktur organisasi dan kepastian pembayaran, pekerja sektor informal memiliki penghasilan fluktuatif, tanpa kontrak, dan sering kali kurang sadar akan pentingnya jaminan sosial.
Tantangan terbesar adalah pendekatan yang relevan. Program sosialisasi selama ini, meski gencar, seringkali tidak efektif karena bahasa yang digunakan terlalu formal dan kurang membumi. Misalnya, seorang penjual gorengan atau pengemudi ojek daring mungkin akan merasa terbebani dengan biaya bulanan BPJS Ketenagakerjaan jika mereka tidak memahami manfaat langsung yang bisa mereka dapatkan.
Namun, inovasi sudah mulai terlihat. Digitalisasi menjadi kunci. Melalui kolaborasi dengan platform digital seperti marketplace atau aplikasi transportasi online, pendaftaran BPJS Ketenagakerjaan untuk pekerja informal bisa diintegrasikan ke dalam sistem mereka. Artinya, pekerja informal dapat dengan mudah mendaftar sekaligus membayar iuran secara otomatis melalui aplikasi yang sudah mereka gunakan sehari-hari.
Selain meningkatkan angka kepesertaan, pemerintah juga ingin memastikan bahwa jaminan sosial ini benar-benar berarti. Di sinilah konsep keadilan sosial menjadi penting. Apakah iuran yang dibayarkan setara dengan manfaat yang diterima? Apakah pekerja yang sudah menjadi peserta mendapatkan kemudahan klaim ketika terjadi kecelakaan atau risiko kerja lainnya?
Isu ini semakin mendesak di tengah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang ramai belakangan ini. Banyak pekerja informal yang justru terpaksa beralih dari sektor formal karena kondisi ekonomi yang sulit. Menaker Yassierli menyoroti pentingnya intervensi produktivitas sebagai solusi jangka panjang.
“Maka kita perlu intervensi bagaimana caranya kita meningkatkan produktivitas,” ujarnya.
Peningkatan produktivitas ini bisa dilakukan melalui pelatihan kerja, akses modal, dan program-program lain yang mendukung pekerja informal menjadi lebih mandiri dan kompetitif.
Apa Artinya Bagi Masyarakat?
Dengan peningkatan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan di sektor informal, harapannya adalah mengurangi kerentanan sosial yang selama ini membayangi pekerja. Dalam jangka panjang, ini tidak hanya memberikan perlindungan finansial, tetapi juga membangun fondasi ekonomi yang lebih inklusif.
Bagi masyarakat, khususnya pekerja sektor informal, ini adalah momen untuk mulai melihat jaminan sosial sebagai kebutuhan, bukan beban. Meskipun terlihat seperti pengeluaran tambahan, manfaatnya dalam kondisi darurat jauh lebih besar.
Sebagai masyarakat, kita juga bisa mendukung inisiatif ini dengan cara sederhana. Misalnya, jika ada pekerja informal di sekitar kita—penjual sayur keliling atau tukang bangunan—kita bisa berbagi informasi soal pentingnya jaminan sosial.
Pemerintah telah membuka jalan, tetapi keberhasilan program ini tetap bergantung pada bagaimana pekerja informal dan masyarakat luas meresponsnya. Dengan kolaborasi dan kepedulian bersama, harapan akan perlindungan sosial yang merata bisa menjadi kenyataan.