1dtk.com - Pilkada Serentak 2024 di Bali menyisakan kisah pilu dari panitia penyelenggara. Beberapa petugas dilaporkan mengalami musibah, mulai dari kecelakaan, keguguran kehamilan, hingga meninggal dunia akibat beban kerja berat. Hal ini menyoroti tantangan fisik dan mental yang harus dihadapi oleh mereka yang berada di garis depan pelaksanaan pemilu.
Anggota KPU Bali, I Gede John Darmawa, mengonfirmasi bahwa seluruh panitia telah didaftarkan dalam keanggotaan BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan.
“Atas kejadian ini kami (KPU Provinsi Bali) berkoordinasi dengan pihak terkait proses penjaminannya,” jelas John pada Kamis (28/11/2024) di Kantor KPU Bali, Renon, Denpasar.
Musibah pertama terjadi pada Senin (25/11/2024) di Kabupaten Tabanan, di mana seorang petugas mengalami keguguran saat mengikuti bimbingan teknis. Insiden serupa terjadi pada hari pemungutan suara di Kabupaten Buleleng, Rabu (27/11/2024), di mana seorang petugas lainnya juga mengalami keguguran.
Tidak hanya itu, tiga petugas KPPS di Kabupaten Buleleng dan Karangasem terlibat kecelakaan saat mendistribusikan formulir pemberitahuan pemilu (model C) kepada warga. Insiden ini terjadi pada Minggu (24/11/2024) dan Senin (25/11/2024), dengan salah satu korban dilaporkan mengalami patah tulang akibat kecelakaan.
Tragedi lain menyentuh hati banyak pihak adalah meninggalnya seorang petugas Linmas, Muhammad Arif (65), yang bertugas di Kelurahan Kampung Bugis, Buleleng. Ia dinyatakan meninggal dunia pada Kamis (28/11/2024) pukul 08.25 WITA setelah sebelumnya ambruk saat bertugas.
Seolah belum cukup, seorang petugas KPPS lainnya juga kolaps akibat asam lambung saat proses penghitungan suara di TPS Kabupaten Buleleng, Rabu (27/11/2024).
Banyaknya insiden yang menimpa panitia Pilkada ini menunjukkan betapa beratnya tugas yang harus mereka jalani. Petugas pemilu di Indonesia, terutama di daerah dengan akses yang sulit, sering kali menghadapi kondisi kerja yang tidak ideal. Beban kerja panjang, tekanan mental, dan kondisi fisik yang terkadang tidak memadai menjadi tantangan yang terus berulang di setiap pemilu.
Menurut I Gede John Darmawa, langkah antisipasi sebenarnya sudah dilakukan melalui keanggotaan BPJS. Namun, koordinasi yang lebih cepat dengan pihak penjamin diperlukan agar semua petugas yang mengalami musibah dapat memperoleh perawatan dan kompensasi yang layak.
“Kami tetap memastikan hak-hak mereka terpenuhi, baik dalam bentuk jaminan kesehatan maupun santunan,” tambah John.
Peristiwa ini mengingatkan kita pada urgensi evaluasi sistem penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Dalam kasus Pilkada Bali, beban kerja yang tidak terukur dan kurangnya kesiapan fisik petugas menjadi faktor utama yang berkontribusi pada insiden-insiden tersebut.
Solusi jangka panjang seperti penambahan jumlah petugas di TPS, penyediaan fasilitas kesehatan darurat, hingga pengaturan jadwal kerja yang lebih manusiawi perlu dipertimbangkan. Selain itu, pelatihan dan pendampingan yang lebih intensif juga penting untuk memastikan kesiapan mental dan fisik para panitia.
Para petugas yang gugur dan menderita akibat tugas mereka bukan hanya bagian dari sistem, tetapi pahlawan demokrasi yang layak dihormati. Dedikasi mereka memastikan pemilu dapat berjalan dengan lancar, meskipun dengan risiko besar.
Masyarakat dan pemerintah harus bersatu dalam memberikan apresiasi dan perlindungan lebih baik bagi mereka. Sebab, demokrasi yang sehat tidak hanya diukur dari partisipasi politik masyarakat, tetapi juga dari bagaimana kita menjaga mereka yang bekerja di balik layar pemilu.
Semoga kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi penyelenggaraan pemilu di masa depan, dengan harapan bahwa musibah serupa tidak akan terulang.