Skandal Korupsi Proyek Kereta Api Besitang-Langsa, Kejagung Periksa Saksi Kunci

Skandal Korupsi Proyek Kereta Api Besitang-Langsa, Kejagung Periksa Saksi Kunci


1dtk.com - Kejaksaan Agung RI (Kejagung) terus mendalami penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan proyek pembangunan jalur kereta api Besitang–Langsa di Sumatera Utara dan Aceh. Proyek besar yang semestinya menjadi penggerak konektivitas antarprovinsi ini malah menyisakan luka mendalam akibat penyalahgunaan kekuasaan dan manipulasi yang mencolok. Pada Selasa (19/11/2024), empat saksi kunci diperiksa guna memperkuat bukti atas kasus yang menyeret sejumlah nama besar dalam struktur Ditjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

Keempat saksi tersebut, yang dulunya memegang jabatan strategis pada Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kemenhub antara 2015-2017, adalah AHM, Inspektur Jenderal Kemenhub tahun 2016-2017; ZUL, Direktur Prasarana Ditjen Perkeretaapian tahun 2017; LAA, Kasubdit Kelaikan Sarana Perkeretaapian Wilayah II; dan VM, Kasi Jembatan dan Bangunan Wilayah II. Menurut Kapuspenkum Kejagung, Dr. Harli Siregar, pemeriksaan ini bertujuan memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan.

“Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dimaksud,” kata Harli dalam keterangan tertulis.

Kasus ini bermula dari proyek pembangunan jalur kereta api Trans Sumatera Railways oleh Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Kelas I Medan, yang berlangsung selama periode 2017-2023. Salah satu jalur penting yang dibangun dalam proyek ini adalah Besitang–Langsa, dengan anggaran fantastis sebesar Rp 1,3 triliun. Dana tersebut bersumber dari Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), yang seharusnya dialokasikan secara transparan dan tepat sasaran.

Namun, realitasnya jauh dari harapan. Tersangka PB, sosok yang diduga berperan sentral dalam kejahatan ini, memerintahkan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Nur Setiawan Sidik, untuk memecah pekerjaan konstruksi menjadi 11 paket. Dalam skema liciknya, PB juga menginstruksikan agar delapan perusahaan tertentu dimenangkan dalam proses lelang, mengabaikan prosedur yang seharusnya objektif. Ketua Pokja Pengadaan, terdakwa Rieki Meidi Yuwana, menjalankan proses lelang tanpa dokumen teknis pengadaan yang sah, bahkan menggunakan metode penilaian kualifikasi yang bertentangan dengan regulasi.

Parahnya lagi, tidak ada studi kelayakan (feasibility study) yang dilakukan sebelum konstruksi dimulai, sebuah pelanggaran besar dalam proyek berskala ini. Dokumen penetapan trase jalur kereta api yang harusnya dikeluarkan oleh Menteri Perhubungan juga absen. Keputusan fatal lainnya adalah pemindahan lokasi pembangunan jalur kereta api tanpa mengikuti desain dan spesifikasi yang sudah disepakati. Akibatnya, jalur tersebut mengalami penurunan daya dukung tanah atau amblas, membuatnya sama sekali tidak bisa digunakan.

Dampak dari pelanggaran ini sangat merugikan. Pembangunan yang gagal total (total lost) itu menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp1,157 triliun, sebagaimana tercatat dalam Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dengan Nomor PE.03.03/SR/SP-464/D5/02/2024 tertanggal 13 Mei 2024. Tak berhenti di situ, aliran dana haram juga terungkap. Tersangka PB disebut menerima fee dari terdakwa Akhmad Afif Setiawan, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), sebesar Rp1,2 miliar dan dari PT WTJ sebesar Rp1,4 miliar.

Kejagung tampaknya tidak main-main. Dengan memeriksa saksi-saksi yang pernah menduduki posisi kunci di Ditjen Perkeretaapian, penyidik berharap bisa membongkar lebih jauh skema korupsi yang rumit ini. Mengingat besarnya dampak keuangan dan hambatan yang ditimbulkan bagi pembangunan infrastruktur nasional, harapannya penegakan hukum yang tegas bisa memberikan efek jera.

Penyidikan yang dilakukan Kejagung juga menggarisbawahi kelemahan dalam pengawasan dan transparansi proyek-proyek pemerintah yang sangat rawan diselewengkan. Kasus ini menjadi peringatan bahwa setiap penyalahgunaan kekuasaan di balik proyek besar bisa berdampak buruk bagi pembangunan nasional. Apalagi, infrastruktur seperti jalur kereta api Besitang–Langsa dirancang untuk meningkatkan mobilitas masyarakat dan perekonomian wilayah.

Publik kini menanti keadilan ditegakkan. Penyelidikan yang sedang berlangsung diharapkan tidak hanya membongkar akar masalah, tetapi juga menghadirkan solusi sistemik agar korupsi serupa tidak terulang. Pada akhirnya, skandal ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk memperkuat pengawasan proyek infrastruktur, baik dari segi regulasi maupun implementasi.

Kasus ini bukan hanya soal anggaran yang bocor, tetapi soal kepercayaan yang dikhianati. Masyarakat pantas mendapatkan proyek infrastruktur yang berjalan sesuai rencana, bukan terbengkalai akibat kerakusan segelintir pihak. Akankah keadilan tercapai, dan bagaimana komitmen pemerintah memperbaiki tata kelola di masa depan? Hanya waktu yang akan menjawab.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال