1dtk.com - Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) semakin serius dalam memperkuat perlindungan anak di ruang digital. Dalam Diskusi Publik yang digelar di Jakarta pada Jumat (28/2/2025), Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Kemkomdigi, Fifi Aleyda Yahya, menegaskan bahwa aturan baru akan mewajibkan platform digital untuk mengklasifikasikan layanan mereka berdasarkan tingkat risiko bagi anak-anak.
"Harus ada kategorisasi yang jelas layanan mana saja yang boleh diakses anak-anak. Kami ingin agar untuk usia tertentu, ada penilaian risiko dari para pakar sehingga aturan ini benar-benar tepat," ujarnya.
Fifi menjelaskan bahwa penentuan profil risiko produk digital menjadi sangat penting karena setiap penyelenggara sistem elektronik (PSE) memiliki tingkat risiko yang berbeda. Pemerintah mempertimbangkan perkembangan kognitif dan sosial anak dalam menilai bahaya konten digital, termasuk paparan pornografi, kekerasan, serta potensi kecanduan.
Ia juga menyoroti risiko lain yang mengancam anak di dunia digital, seperti potensi interaksi dengan orang asing, keamanan data pribadi, hingga dampak psikologis dan fisiologis.
Regulasi Perlindungan Anak di Ruang Digital Sudah Dirancang Sejak 2023
Upaya pemerintah dalam merancang regulasi perlindungan anak di ruang digital sebenarnya telah dimulai sejak 2023.
"Prosesnya sudah berjalan sejak Juli-Agustus 2023, saat kami menyusun draft awal terkait rancangan regulasi ini," kata Fifi.
Pada 2025, Kemkomdigi menggelar berbagai Forum Group Discussion (FGD) serta membentuk tim kerja yang terdiri dari akademisi, praktisi, dan perwakilan anak-anak.
"Kami mengundang anak-anak untuk mendengarkan langsung pengalaman mereka, misalnya bagaimana perasaan mereka saat akses media sosial dibatasi," ungkapnya.
Masukan dari para pakar dan anak-anak ini menjadi dasar bagi penyusunan regulasi agar dapat mewakili seluruh pemangku kepentingan secara lebih komprehensif.
Tidak Cukup Mengandalkan Orang Tua
Sejumlah pihak menilai bahwa regulasi ini tidak cukup hanya mengandalkan peran orang tua dalam mengawasi anak di ruang digital.
Halimah, seorang kreator digital, mengungkapkan bahwa ada pandangan yang menyebut pemerintah tidak perlu membatasi akses internet anak-anak dan cukup menyerahkan pengawasan kepada orang tua. Namun, menurut data Program for International Student Assessment (PISA), tingkat literasi digital orang tua di Indonesia masih rendah.
Co-Founder Ayah ASI, Agus Tahmat Hidayat, juga mengusulkan agar platform digital memberikan notifikasi jika ada unggahan yang melibatkan anak.
"Jangan sampai anak digunakan untuk kepentingan finansial," tegasnya.
Hal yang sama disampaikan Psikolog Anak dan Remaja, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, yang menyoroti beragam tipe orang tua dalam menghadapi tantangan digital.
"Ada orang tua yang sadar akan dampak digital dan mampu mendampingi anak dengan baik, tapi ada juga yang abai," jelasnya.
Ia juga menyinggung dampak negatif paparan digital, seperti gangguan perkembangan bicara pada anak usia 3-4 tahun, yang kerap dianggap sebagai tanda gangguan spektrum autisme (ASD).
Vera menegaskan bahwa pemerintah harus mengeluarkan regulasi yang lebih ketat untuk perlindungan anak di ruang digital.
"Edukasi soal dampak media sosial dan game harus dilakukan berulang-ulang. Bahkan tempat-tempat umum seperti restoran dan bioskop bisa menerapkan aturan 'no gadget allowed' untuk menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi anak," tambahnya.
Dengan aturan baru ini, pemerintah menegaskan komitmennya dalam menciptakan ruang digital yang aman dan ramah bagi anak-anak. Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, praktisi, orang tua, dan platform digital diharapkan bisa mewujudkan ekosistem digital yang lebih sehat bagi generasi mendatang.