1dtk.com - Pada kunjungan saya yang keempat ke Amerika Serikat, tahun 1996, saya sempat berharap bisa menikmati perjalanan dari utara ke selatan. Saya pengin banget keliling dengan rute seperti itu he he he dan rupanya harapan saya dikabulkan. Kami, rombongan berjumlah 13 orang, memulai petualangan dari Seattle, negara bagian Washington yang terletak di ujung utara, dan akan mengakhiri perjalanan di Atlanta, Georgia di wilayah selatan.
Tujuan utama kunjungan kami adalah mempelajari lebih dalam soal kerja sama pemerintah dan swasta dalam penyediaan air minum. Kami ingin tahu bagaimana bentuk kemitraan mereka, serta seperti apa pengelolaan air minum yang dijalankan.
Seattle, Kota Starbucks dan Boeing
Setelah penerbangan panjang dan cukup melelahkan, akhirnya kami mendarat mulus di Bandara Seattle. Tanpa diduga, kami disambut oleh Mbak Lela gadis tinggi besar keturunan Amerika Latin yang sangat ramah. Ia sudah menunggu kami dengan limonya. Wah, ini pertama kalinya saya naik limo, jadi ya, mohon dimaklumi kalau kami agak norak: duduk njunjutan sambil foto-foto di dalam mobil panjang itu.
Seattle sangat identik dengan dua ikon besar: Starbucks dan Boeing. Kedua merek besar ini lahir di kota ini dan menjadi kebanggaan warga Amerika. Saya yakin Anda pasti pernah naik pesawat Boeing buatan Seattle, atau ngopi di Starbucks yang kini cabangnya ada di hampir seluruh pelosok Jakarta dan kota besar lain di Indonesia. Katanya, franchise Starbucks di Indonesia dipegang oleh salah satu taipan dalam negeri. Kalau saya mampir ke Starbucks, biasanya pesan decaf Americano pakai susu maklum, usia harus jaga-jaga dari kafein.
Kota Seattle juga punya ikon terkenal yaitu menara The Space Needle, setinggi 184 meter, yang dibangun untuk pameran dunia tahun 1962. Sejak saat itu, menara ini menjadi simbol kota. Tak hanya itu, Seattle juga dikenal sebagai kota seafood, terutama ikan salmon. Hari pertama kami sempat jalan-jalan ke Fisherman’s Wharf pasar yang ramai dengan wisata kuliner laut, musik jalanan, dan suasana santai. Musik tiup dari pemuda-pemuda keturunan Indian mengalun nyaring, dan salah satu lagu yang dimainkan adalah “Ananao”.
Kalau boleh saya simpulkan, Seattle termasuk kota yang old-fashioned. Jadi, kalau niatnya belanja barang bermerek, bukan di sini tempatnya.
Duval dan Teknologi Air Minum yang Sederhana
Hari kedua, kami diajak mengunjungi mata air dan sungai besar di Duval sumber utama air minum warga Seattle. Yang bikin iri, mereka berhasil membebaskan dan melindungi daerah perbukitan sebagai kawasan tangkapan air. Hutan pinusnya dirawat dengan serius, bahkan sesekali mereka panen pohon untuk dikelola ulang. Teknologi pengolahan air di sana sebenarnya cukup konvensional, tapi hasilnya sangat andal dan berkualitas tinggi. Kuncinya bukan alat canggih, tapi disiplin dan komitmen dalam menjaga kualitas air dari hulu.
Indianapolis dan Jejak Sirkuit
Selanjutnya, kami bertolak ke Indianapolis. Kota ini terkenal dengan sirkuit balapnya, Indianapolis Motor Speedway. Kami diajak tur melihat langsung arena balap legendaris itu, sambil membayangkan aksi si Kuda Jingkrak alias Ferrari yang dulu dikemudikan oleh Michael Schumacher. Lucunya, ada juga yang meleset menyebut kota ini sebagai Indian No Place, padahal ironisnya justru suku Indian adalah penduduk pertama di wilayah ini. Kini, keberadaan mereka makin tersisih, hidup di reservasi, dan banyak yang terjebak dalam masalah alkohol serta narkoba.
Los Angeles, Hollywood, dan Rodeo Drive
Dalam perjalanan menuju Los Angeles, kami menyempatkan diri mampir ke Avila Adobe, rumah tertua di LA yang terletak di kawasan El Pueblo de Los Angeles. Lalu tentu saja, kami tak melewatkan kunjungan ke Universal Studios, melihat langsung bagaimana trik-trik kamera film dibuat, hingga melihat lokasi shooting film-film lawas seperti Knight Rider dan Benji. Tur juga dilengkapi dengan melewati kawasan rumah selebriti Hollywood meski cuma lihat dari luar, tetap bikin penasaran.
Bagi ibu-ibu di rombongan kami, destinasi wajib adalah Rodeo Drive tempat belanja mewah, surganya barang bermerek. Di sinilah para miliarder, konglomerat, dan pangeran Timur Tengah berburu barang fashion kelas atas. Kami juga sempat mampir ke Chinese Theatre dan jalan-jalan di Hollywood Walk of Fame, trotoar ikonik yang dihiasi nama-nama bintang film dunia.
Disneyland dan Copet di Anaheim
Tak jauh dari LA, tepatnya di Anaheim, ada Disneyland taman hiburan legendaris yang jadi destinasi wajib. Kami menginap di Holiday Inn Anaheim. Sayangnya, suasana gembira sedikit ternodai oleh kejadian tak mengenakkan. Seorang ibu-ibu turis dari Tiongkok kecopetan tasnya isinya uang dan paspor semua! Ia menangis kencang dan panik berat, sampai kami para tamu pun agak takut mendekat.
Rombongan kami juga sempat kena musibah. Salah satu teman kehilangan amplop berisi dolar dari backpack-nya. Berapa jumlahnya, ia enggan menyebutkan, tapi tampaknya cukup besar. Pelajarannya: waspadalah selalu, terutama di tempat ramai dan asing.
Golden Gate Bridge dan Keindahan San Francisco
Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke San Francisco, kota yang terkenal dengan jembatan megah Golden Gate Bridge. Jembatan ini adalah karya insinyur Joseph Strauss dan diresmikan pada 17 Februari 1937. Proyek pembangunannya makan waktu 4 tahun, menelan biaya US$35 juta, dan merenggut 10 nyawa pekerja. Jembatan ini menahan beban hingga 95 juta ton dan dilewati lebih dari 125.000 kendaraan setiap harinya. Hebatnya lagi, butuh waktu setahun hanya untuk mengecat ulang jembatan dari ujung ke ujung.
Baca juga: Menikmati Ho Chi Minh City dengan Cara yang Santai dan Tidak Terlalu Turis
Uji Nyali di Grand Canyon
Kalau Amerika punya destinasi alam yang wajib dikunjungi, maka Grand Canyon adalah salah satunya. Dari Las Vegas, kami mengambil paket wisata udara ke Grand Canyon bersama King Airline. Kami dijemput pukul 9 pagi di Hotel Le Mirage, Las Vegas. Setelah diantar ke bandara kecil, kami naik pesawat kecil DC-9 yang hanya berkapasitas 9 orang.
Awalnya sih lancar. Pesawat terbang rendah menyisir lembah Grand Canyon. Tapi lama-lama, mulai terasa guncangan. Tiba-tiba pesawat menukik tajam, lalu naik lagi, lalu menukik lagi. Wah, mulai deh satu per satu penumpang pucat pasi. Pemandangan indah jadi tak lagi menarik kami semua hanya ingin cepat-cepat mendarat!
Sang pilot, dengan santainya, memberikan sertifikat penerbangan Grand Canyon. Tapi saat ditanya siapa yang mau namanya ditulis di sana, semua langsung geleng kepala. Udah, om, kami cuma pengin turun! Begitu kembali ke hotel, saya langsung cari tempat buat ber-hoek-hoek plong rasanya. Kapok sih... tapi pengin lagi juga!
Atlanta dan Persiapan Olimpiade
Perhentian terakhir adalah Atlanta, Georgia. Saat itu, kota sedang sibuk bersiap menjadi tuan rumah Olimpiade. Proyek pembangunan stadion besar sedang berlangsung. Kami menginap di DoubleTree Hotel, 160 Spring St NW, Atlanta. Hotel ini punya nuansa arsitektur klasik dan suasananya tenang. Kuncinya masih model lama, dan koridornya panjang seperti lorong-lorong hotel zaman dulu.
Atlanta adalah kota yang bersih, rapi, dan tertata. Mayoritas penduduknya berkulit hitam, jadi kalau jalan-jalan di sini, wajah-wajah Afro-Amerika jadi dominan. Sebagai kolektor kaos Hard Rock Café, saya senang banget karena letaknya berseberangan langsung dengan Planet Hollywood.
Penutup
Itulah secuplik pengalaman gado-gado wisata saya selama 20 hari keliling Amerika Serikat dari utara ke selatan. Dari kopi decaf di Seattle sampai uji nyali di Grand Canyon, dari sirkuit balap Indianapolis sampai pencopetan di Anaheim, semuanya menjadi mozaik cerita yang tak terlupakan. Amerika, dengan segala ragam wajahnya, ternyata menyimpan banyak kejutan dan pelajaran. Bukan cuma soal modernitas dan kemewahan, tapi juga soal kesederhanaan, efisiensi, dan sisi-sisi kemanusiaan yang tak terduga.