1dtk.com - Dua bulan terakhir ini, langit Bali seperti sedang bersedih. Hujan deras datang hampir setiap hari tanpa aba-aba, seperti seseorang yang menumpahkan seluruh emosinya dalam bentuk air. Awalnya saya pikir saya bisa bertahan menyalakan lilin aroma terapi, mendengarkan playlist lo-fi, menyeduh kopi kesukaan, dan tetap bekerja sambil pura-pura semua baik-baik saja. Tapi lama-lama… yah, tidak semua bisa ditenangkan dengan lavender dan Spotify.
Hujan di luar memang menyiram, tapi hujan di dalam kepala jauh lebih melelahkan. Dan ketika semuanya mulai terasa berat pekerjaan, bisnis, hidup sosial, bahkan sekadar membuka tirai kamar saya tahu saya harus pergi sejenak. Bukan lari, tapi kabur sebentar untuk menenangkan diri. Supaya bisa pulang dengan versi saya yang sedikit lebih waras.
Dan entah kenapa, jawaban paling masuk akal selalu sama: Bangkok.
Semua yang Saya Butuhkan Untuk Sembuh, Selalu Ada Di Bangkok
Saya bukan tipe orang yang doyan belanja branded atau keluyuran ke rooftop bar sampai subuh. Saya juga bukan pecinta alam yang suka naik gunung, apalagi loncat dari tebing ke laut. Saya ini lebih ke tim “cari kafe, duduk di pojokan, kopi di tangan kiri dan buku di tangan kanan”.
Dan itulah kenapa saya jatuh cinta sama Bangkok sejak pertama kali ke sana. Kota ini punya semuanya: makanan enak, kopi mantap, transportasi efisien, dan yang paling penting getaran positif yang entah dari mana datangnya.
Saya pernah mencoba ke Singapura waktu butuh “healing trip”, tapi terlalu steril buat saya. Pernah juga ke KL, tapi somehow terlalu mirip Jakarta. Hong Kong? Mahal dan penuh. Perth? Cantik sih, tapi saya butuh yang lebih hidup. Dan kembali lagi, saya menemukan bahwa jawaban paling logis ya tetap Bangkok.
Tiket Murah dan Akomodasi Ramah di Kantong Bikin Spontanitas Jadi Mungkin
Kalau kamu seperti saya yang kadang bisa bangun pagi dan langsung berpikir, “Udah, cabut aja yuk?”, maka Bangkok adalah destinasi paling pas. Tiket dari Bali ke Bangkok sering kali bisa saya dapatkan di bawah 2 juta pulang-pergi, bahkan kadang lebih murah dari tiket ke Jakarta kalau sedang promo.
Soal tempat menginap, ini yang saya suka: harga hostel sampai hotel bintang tiga itu bersaing banget. Di bawah 500 ribu per malam udah bisa dapet kamar nyaman, bersih, dan... aesthetic! Kuncinya? Jangan malas baca review di Google dan Agoda. Saya pernah dapat hidden gem di daerah Ari yang cozy parah, dan itu berkat satu review jujur dari netizen random yang bilang, “Ini tempat buat orang yang suka sunyi tapi nggak mau kesepian.”
Dan itu... saya banget.
Makanan di Bangkok Tuh Nggak Pernah Gagal Bikin Saya Merasa Dicintai
Maaf kalau ini terdengar berlebihan, tapi saya percaya makanan punya kekuatan untuk menyembuhkan. Dan di Bangkok, saya nggak pernah merasa sendirian. Dari semangkuk tom yum di pojok pasar sampai mango sticky rice dari abang-abang gerobak malam, semuanya terasa seperti pelukan kecil buat jiwa saya yang capek.
Favorit saya? Khao soi di kawasan Victory Monument dan pad kra pao di stall kaki lima dekat stasiun BTS Mo Chit. Rasa dan harga itu nggak masuk akal. Kadang saya bahkan beli dua porsi hanya karena takut nanti kangen rasanya kalau sudah pulang ke Bali.
Sistem Transportasi Mereka Bikin Saya Merasa Manusia Normal
Sebagai seseorang yang gampang anxious dan kadang suka overthinking, transportasi yang ribet itu mimpi buruk. Tapi di Bangkok, saya bisa naik BTS, MRT, river taxi, atau bus kota tanpa rasa cemas. Semuanya jelas, terintegrasi, dan... murah. Saya bahkan pernah keliling Bangkok satu hari full cuma dengan 200 baht. Iya, dua ratus!
Yang penting, jangan sok-sokan naik mobil. Macetnya bisa bikin kamu kehilangan iman. Serius deh.
Ngopi Adalah Bentuk Terapi, Bangkok Punya Terlalu Banyak Tempat Buat Itu
Saya bukan penikmat kopi level dewa, tapi saya tahu betul kapan kopi itu layak dibayar mahal. Dan Bangkok tuh nggak pernah kehabisan tempat ngopi yang bukan cuma jualan latte, tapi juga suasana.
Mulai dari kafe industrial di Thong Lor, tempat kecil berbau roti mentega di Chatuchak, sampai spot ngumpet di belakang toko buku tua di daerah Silom semuanya punya “jiwa” masing-masing.
Saya bisa duduk berjam-jam di satu tempat, buka laptop, nulis, atau sekadar baca buku yang sudah saya simpan lama. Kadang sambil menguping obrolan meja sebelah yang entah kenapa selalu seru. Rasanya kayak... hidup saya mulai pelan-pelan lurus lagi.
Warganya Mungkin Tak Bicara Inggris, Tapi Mereka Paham Bahasa Kemanusiaan
Saya pernah nyasar di sekitar Ratchathewi gara-gara keluar di exit yang salah. Nggak ada sinyal, Google Maps ngaco, dan saya mulai panik. Tapi lalu datang seorang ibu, mungkin umur 60-an, menepuk bahu saya dan berkata pelan, “Where you go?”
Saya sebut nama hostel saya sambil berharap dia tahu. Ternyata tidak. Tapi dia tetap berjalan bersama saya, tanya-tanya ke orang lain, dan 15 menit kemudian saya sudah berdiri di depan pintu hostel. Saya menoleh untuk berterima kasih, tapi dia sudah pergi entah ke mana. Tanpa pamrih, tanpa basa-basi. Seperti... ya, manusia seharusnya.
Kota Ini Bersih, Estetik, Punya Ritme Yang Bikin Saya Tetap Waras
Jalan kaki di Bangkok adalah bentuk meditasi tersendiri. Trotoar rata, penyeberangan jelas, pohon-pohon rindang. Bahkan toilet umum mereka pun bisa bersih banget, apalagi di area BTS dan mal. Ini mungkin hal sepele, tapi buat saya yang gampang overwhelmed, ruang publik yang rapi itu berkah.
Saya bisa berjalan dari Siam ke Ekkamai tanpa merasa terganggu. Bahkan saat hujan, kotanya tetap terasa tenang. Dan kadang, saya bisa mendengar suara saya sendiri lagi.
Koneksi Internet di Mana-Mana Bikin Kerjaan Tetap Bisa Jalan
Sebagai pekerja digital yang nggak bisa lepas dari Zoom dan deadline, WiFi adalah kebutuhan utama. Dan di Bangkok, saya jarang banget nemu spot tanpa koneksi. Bahkan warung pinggir jalan pun kadang punya WiFi kencang.
Pernah suatu pagi saya harus presentasi ke klien besar. Saya tinggal masuk ke kafe random, pesan Americano, duduk di pojokan, dan meeting berjalan mulus. Nggak pakai drama. Gimana saya bisa nggak cinta kota ini?
Baca juga: Sonamarg dan Kashmir, Swiss versi Asia yang Harus Kamu Coba Sekali Seumur Hidup
Getaran Positifnya Itu Nyata, Bikin Saya Pengen Balik Lagi Dan Lagi
Saya nggak tahu apa yang bikin Bangkok punya vibes sekuat ini. Mungkin campuran antara keramahan warganya, makanan hangatnya, atau fakta bahwa semua orang terlihat sibuk tapi nggak stres. Tapi tiap saya di Bangkok, saya merasa... hidup lagi.
Bahkan ketika saya cuma duduk di tepi sungai Chao Phraya sambil makan mi instan dari 7-Eleven, hati saya bisa tenang. Dan untuk orang kayak saya, itu artinya segalanya.
Kalau Kamu Tanya Saya, “Ke Mana Kamu Pergi Saat Butuh Pulang Ke Diri Sendiri?” Jawaban Saya Akan Selalu: Bangkok
Karena buat saya, kota ini bukan cuma tempat wisata. Tapi tempat yang diam-diam ikut merakit kembali potongan diri saya yang sempat berserakan. Dan itu bukan hal yang bisa kamu temukan di mana pun.
Kalau kamu pernah merasa capek, muak, atau bahkan kosong, mungkin saatnya kasih ruang buat dirimu sendiri. Dan siapa tahu, jawabannya juga ada di Bangkok.
Sekarang giliran kamu. Kalau kamu harus "kabur" untuk kembali sehat secara batin, ke mana kamu akan pergi?