1dtk.com - Dunia medis kembali diguncang. Kali ini, masyarakat digegerkan dengan dugaan kasus pelecehan seksual oleh seorang dokter kandungan (obgyn) yang praktik di sebuah klinik di Garut, Jawa Barat. Dokter bernama dr. Muhammad Syafril Firdaus menjadi sorotan setelah seorang dokter gigi, drg. Mirza Mangku Anom, Sp.KG, mengunggah sejumlah bukti dan pengakuan korban lewat akun Instagram miliknya, @drg.mirza.
Dalam unggahan yang viral sejak Rabu malam (10/4/2025), drg. Mirza menampilkan tangkapan layar pesan dari sejumlah warganet serta rekaman CCTV dari ruang praktik dokter. Dalam video tersebut, tampak tangan kiri dr. Syafril menyentuh bagian tubuh pasien yang dekat dengan area payudara saat melakukan USG. Posisi tangan itu dianggap tidak semestinya oleh banyak kalangan medis, terutama karena tangan kiri dokter seharusnya digunakan untuk mengoperasikan alat bantu, bukan menyentuh pasien.
“Tolonglah, bekerja secara profesional dan bermartabat! Ini semua bukti aku punya lengkap lho, rekaman CCTV versi lengkap aku juga punya, dan aku selalu kesel ngelihat yang begini-begini,” tulis drg. Mirza.
Tak berhenti pada satu video, Mirza juga membagikan kisah korban lain yang mengaku dilecehkan saat pemeriksaan kandungan tahun 2023. Korban menceritakan bahwa dokter tersebut mengajak ngobrol secara personal, menawarkan layanan gratis, namun justru berujung pada tindakan tak senonoh.
“Dia minta WA, ngajak jalan ini itu... Payudara saya dimainin, saya juga ditahan pakai tangan,” begitu isi pengakuan korban yang dibagikan kembali oleh drg. Mirza.
Dalam unggahan lainnya, disebutkan pula bahwa dokter bersangkutan kerap menghubungi pasien wanita secara pribadi, menawarkan pemeriksaan USG 4D gratis dengan syarat datang sendirian. Motif tersebut membuat banyak pihak menduga adanya pola pelecehan seksual yang terstruktur dan berulang.
“Dia selalu WA pasien-pasiennya, iming-iming USG 4D gratis, tapi ngajak main dan lain-lain. Tapi nggak boleh bawa suami atau siapapun pas periksa,” tulis pengakuan dari seseorang yang mengaku pernah bekerja dengan dr. Syafril.
Publik kemudian menyadari bahwa akun Instagram dr. Syafril menghilang beberapa menit setelah unggahan drg. Mirza menjadi viral. Dugaan menguat bahwa hal itu dilakukan untuk menghindari serangan publik.
Lebih jauh, disebutkan pula bahwa kasus ini sebenarnya sudah dilaporkan ke polisi beberapa bulan lalu. Namun, menurut informasi dari pelapor yang dikutip drg. Mirza, hingga kini belum ada tindakan lanjutan yang berarti dari pihak berwenang.
“Semoga setelah mulai viral malam ini, kasus ini segera bisa ditindaklanjuti oleh kepolisian setempat,” tulis drg. Mirza penuh harap.
Warganet pun ramai-ramai mendesak agar Kementerian Kesehatan dan organisasi profesi seperti IDI segera mengambil sikap. Masyarakat khawatir, jika kasus semacam ini terus berulang tanpa penindakan tegas, kepercayaan publik terhadap dunia kedokteran akan terancam.
“Jangan sampai publik kehilangan kepercayaan kepada profesi dokter,” lanjut drg. Mirza dalam salah satu unggahan.
Beberapa dokter spesialis kandungan turut memberikan pernyataan melalui kanal media sosial, mendukung investigasi dan menegaskan bahwa tindakan yang terlihat dalam video tersebut memang di luar standar etika pemeriksaan medis.
“Kalaupun perlu menaikkan baju sampai setinggi dada, mintalah pasien untuk menaikkan sendiri, atau minta bantuan asisten bidan. Jangan kita sendiri. Banyak langkah menghindari fitnah dan pelecehan,” ujar seorang obgyn anonim, seperti dikutip oleh drg. Mirza.
Reaksi warganet pun tak kalah keras. Di media sosial X (dulu Twitter), tagar terkait kasus ini sempat trending. Banyak yang membandingkannya dengan kasus pelecehan seksual sebelumnya oleh dokter residen di Bandung, yang belum lama ini juga mencuat ke publik.
"Belum selesai kasus pelecehan yang dilakukan oleh Dokter Residen PPDS Anastesi di TSHS Bandung, sekarang muncul lagi kasus pelecehan yang dilakukan oleh Dokter Kandungan di Garut..." tulis akun @Gigin*****.
“Itu mah pelecehan tangannya ngapain ke dada-dada. Saya hamil nggak pernah diperiksa sampai repot begitu, selalu ada suster atau didampingi suami,” ungkap @Sari.
Kini, sorotan publik tertuju ke pihak kepolisian dan lembaga kedokteran. Apakah akan ada tindakan konkret? Atau lagi-lagi hanya berhenti pada pusaran viral tanpa ujung? Masyarakat tentu menantikan transparansi dan keadilan, terutama bagi para korban yang berani bersuara meski penuh trauma dan risiko sosial.
Satu hal yang jelas: pelecehan dalam bentuk apapun, apalagi oleh tenaga medis, tidak bisa ditoleransi. Sudah waktunya ada sistem yang menjamin keselamatan pasien dari ruang praktik sampai ranah hukum.